Dieng Wonosobo Jawa Tengah


Kali ini saya ingin menceritakan perjalanan saya ke Wisata Dieng yang saya kunjungi 15 Agustus 2016 lalu. Sebenarnya saya tidak ada rencana untuk ikut serta ke Dieng, namun karena bujukan teman saya akhirnya saya memutuskan ikut. 
Teman-teman saya kali ini berasal dari Jakarta. Ada Desi, Mbak Chi, Petrus, Mas Ari, Juki dan Mas Rosadi. Mereka memang sudah merencanakan jauh-jauh hari sebelumnya untuk berwisata ke Dieng. Kebetulan saudara Mbak Chi berbaik hati meminjamkan mobil  untuk bisa berwisata kesana.
Jam 09.00 perjalanan saya awali dari rumah saudara teman saya di seputaran Kricak, Jalan Magelang Yogyakarta. Saya sendiri belum pernah pergi ke Daratan Tinggi Dieng. Jadi kami hanya menggunakan Google Maps untuk bisa sampai kesana. Mas Petrus yang mengemudikan mobil sebenarnya sudah pernah ke Dieng hanya saja malam hari jadi tidak ingat jalan sampai ke Dieng. Meski begitu perjalanan kami cukup lancar.  
Peta di Google Maps cukup baik untuk diandalkan. Dari Jalan Magelang Yogyakarta kami meluncur menuju Muntilan, Jawa Tengah kearah jalan menuju Candi Borobudur.  Meski beberapa belum kenal lama, tapi teman-teman saya ini cukup kocak dan humoris, saya cukup senang dan terhibur bisa tertawa sepanjang perjalanan.  Desi sendiri yang suka mabuk darat kalau naik mobil, saat itu tidak menunjukkan gejala mabuk. Kami juga sempatkan berhenti di Candi Mendut meski hanya berfoto di luar pagar candi.
Candi Mendut

Pukul 12.00 kami sampai di Kota Wonosobo. Sebelumnya kami sudah memutuskan untuk makan siang di Wonosobo dengan makanan khas Mie Ongkloknya. Sempat muter-muter di Alun-alun Wonosobo tapi tidak menemukan warung mie Ongklok, akhirnya ketemu di dekat sekolah MTS di jalan menuju arah Dieng, namanya Mie Ongklok& Sate Bu Umi tepatnya beralamat Jl. Masjid no.11 Kauman Utara, Wonosobo, Jawa Tengah. 
Saya sendiri belum pernah makan mie ongklok. Jadi itu pertama kali lidah saya bersentuhan dengan Mie Ongklok. Mirip dengan Mi Ayam tetapi kuahnya memakai kuah kacang. Cukup lezat rasanya dibarengi dengan beberapa tusuk sate ayam dan air jeruk hangat. Setelah kenyang melahap Mie Ongklok, perjalanan kami pun berlanjut menuju tujuan semula. 
Jalan-jalan kearah Dieng cukup lenggang, sesekali ada beberapa antrian karena perbaikan jalan. Tetapi masih bisa dikatakan lalulintas cukup lancar.  Setelah sekitar 1 jam kami pun sampai di gerbang masuk tempat wisata Dieng. Tiket masuknya sekitar Rp 70,000,- satu mobil atau sekitar Rp 10,000,- perorang itu sudah termasuk tiket nonton film di Teather Dieng (meski kami tidak sempat kesana).

Mie Ongklok Wonosobo

Jalan menuju wisata Dieng cukup menanjak, kanan-kiri jalan sejauh mata memandang terhampar kebun-kebun sayur yang beraneka ragam, seperti kentang, kubis, sawi, seledri dan lain-lain. Cukup indah untuk melepas penatnya setelah bosan dengan urusan pekerjaan. Namun demikian, hp beberapa teman saya ada yang tak henti-hentinya berbunyi. Maklum mereka ada yang membawahi beberapa anak buah di tempat mereka bekerja, jadi urusan kerja masih tetap sesekali terhubung meski lewat sambungan jarak jauh.
Setelah setengah jam berjalan dari gerbang pintu masuk, kami berhenti sebentar di gapura masuk Dieng, apalagi kalau bukan ceprat-cepret foto bareng hehehe… Memang jaman sekarang sepertinya mengambil foto baik selfie atau bareng-bareng adalah sebuah kewajiban setiap orang yang sedang piknik, tak terkecuali saya sendiri hehe..  
Beberapa pengunjung wisata lain juga tampak meluangkan waktu untuk berhenti sekedar berfoto ria.  Tak lama kami pun lanjut menuju tempat wisata Dieng yang pertama kami sambangi adalah Danau Telaga Warna.

Telaga Warna 

Memasuki Danau Telaga Warna Dieng cukup mudah, karena kami cukup parkir di tempat yang sudah disediakan. Karena hari itu bertepatan dengan hari Senin, wisatawan yang datang kesana tidak banyak. Saya hanya melihat dua rombongan bis yang datang untuk berpariwisata. Mungkin suasana akan lain ketika hari Minggu atau liburan.
Untuk masuk ke Telaga Warna kami masih ditarik tiket lagi kalau tidak salah seharga Rp 5,000,- per orang. Saat kami masuk aroma belerang cukup pekat menusuk hidung. Memang Danau Telaga Warna ini mengandung belerang yang keluar dari saluran perut bumi.  Namun rindangnya pohon-pohon disekitar telaga yang cukup asri membuat suasana terasa sejuk dan cukup dingin. 
Menurut informasi yang langsung saya baca dari Wikipedia, nama Telaga Warna sendiri diberikan karena keunikan fenomena alam yang terjadi di tempat ini, yaitu warna air dari telaga tersebut yang sering berubah-ubah. Terkadang telaga ini berwarna hijau dan kuning atau berwarna warni seperti pelangi. 
Fenomena ini terjadi karena air telaga mengandung sulfur yang cukup tinggi, sehingga saat sinar Matahari mengenainya, maka warna air telaga nampak berwarna warni. Namun sayang kami hanya melihat warna telaga yang hijau waktu itu, mungkin momen kami kurang tepat karena hari mulai beranjak sore ketika kami menyambangi tempat tersebut. 
Telaga Warna sendiri berada di ketinggian 2000 meter di atas permukaan laut, dan dikelilingi oleh bukit-bukit tinggi yang menambah pesona keindahan alam sekitar telaga warna. Keindahan telaga warna akan lebih terasa jika pengunjung naik ke salah satu bukit yang mengelilingi telaga ini. 
Namun kami pun tidak sempat naik ke bukit yang dimaksut karena terbatasnya waktu kami. Kami hanya mengunjungi beberapa gua yang ada di sekitar Telaga Warna Dieng. Seperti Gua Semar Pertapaan Mandalasari Begawan Sampurna Jati. Di depan gua ini terdapat arca wanita dengan membawa kendi. Ada juga Gua Sumur Eyang Kumalasari, dan Gua Jaran Resi Kendaliseto. Selain itu, ada pula Batu Tulis Eyang Purbo Waseso. Konon gua-gua di sekitar telaga warna ini juga sering dijadikan sebagai tempat meditasi.

Telaga Warna

Tepi Telaga Warna
Gua Sumur

Batu Tulis Eyang Purbo Waseso



Jam pun sudah menunjukan pukul 17.00 kami pun memutuskan mencari penginapan, karena kami berniat bermalam untuk melihat sunrise di Bukit Sikunir pada pagi harinya. Desi yang sudah beberapa hari lalu hunting penginapan via google di internet akhirnya mendapatkan sebuah rumah penginapan milik warga yang bisa di sewa semalam. 
Sebelumnya kami ingin menyewa tenda saja, tetapi dengan pengalaman yang minim dalam berkemah kami memutuskan untuk menyewa rumah. Karena di daerah Dieng suhu bisa sangat dingin sekali saat malam. Takutnya pagi-pagi kami jadi daging beku hehehe 
Setelah tawar menawar dengan pemilik rumah akhirnya kami dapat harga yang lumayan miring walaupun sebenarnya mungkin itu harga standar sekitar Rp 400,000,- untuk kami bertujuh. Tempatnya juga cukup jauh dari puncak Sikunir tapi lumayan untuk bisa kami bermalam. 
Sore itu saya nekat tetap mandi, merasakan dinginnya seperti air kulkas yang cukup membuat tubuh menggigil kedinginan. Tapi menurut bapak yang punya rumah, jika ingin beradaptasi dengan dinginnya daerah Dieng dianjurkan mandi dengan air dingin. Tapi menurut saya tetap sama saja, tetap saja dingin. Hehehe
Malam pun beranjak larut, kami tidak sempat untuk keluar makan karena mungkin sudah capek setelah perjalanan tadi. Mbak Chi dan Desi memutuskan membeli mie rebus dan telur untuk kami buat makan malam. Cukup untuk mengganjal perut sampai pagi.  
Setelah ngobrol-ngobrol dan bercanda sampai sekitar jam 23.00 kami pun tidur. Mbak Chi dan Desi, tidur dikamar sendiri, sedang Petrus, Mas Rosadi, Juki dan Mas Ari memilih tidur di ruang tamu dan dan depan TV. Saya sendiri tidur dikamar lain sendirian. Untung saya membawa mantel dari rumah yang jenis baju jadi selain memakai celana panjang, kaos kaki dan sapu tangan , saya double dengan mantel. Itu saja masih memakai selimut tebal double dua lagi. Memang saat malam, yang belum terbiasa dengan daratan tinggi akan terasa dingin menusuk tulang. Saya pun terlelap sampai pagi, meski tidur kurang begitu nyenyak.
Setelah alarm HP membangunkan saya sekitar jam 03.30 pagi, saya pun cuci muka dan gosok gigi. Beberapa teman juga sudah bangun. Karena Desi punya penyakit asma terpaksa kita meninggalkan sendirian di rumah sewa. Takutnya asmanya kambuh ketika naik puncak gunung. Dan  jam 04.00 pun kami gas mobil kami menuju puncak Si Kunir tempat melihat matahari terbit. Dijalan banyak juga pengunjung yang antusias berbondong-bondong menuju kesana. Jalan menuju puncak Sikunir cukup menanjak dan curam, dengan aspal yang sudah banyak terkelupas sana-sini, sehingga memerlukan konsentrasi yang cukup hati-hati.

Puncak Sikunir

Sekitar pukul 04.35 kami pun sampai di lokasi parkir objek wisata Puncak Sikunir. Ternyata pagi itu sudah cukup banyak pengunjung yang memarkirkan kendaraan untuk naik ke Puncak Sikunir. Beberapa deret parkir sudah terisi dengan beberapa mobil dan bus dari pengunjung lain. Ada juga beberapa pengunjung yang menginap menggunakan tenda di lokasi tersebut. 
Kami pun segera beranjak mengikuti jalur menuju ke puncak bukit Sikunir yang berjarak sekitar 500 meter dari tempat kami parkir. Jalan yang menanjak dan licin membuat kami harus extra hati-hati berjalan melangkah naik ke bukit Sikunir. 
Pagi itu cukup ramai sehingga kami agak sedikit berjalan mengantri dibelakang pengunjung lain yang ikut naik ke puncak. Karena saya mungkin tidak hobby dan terbiasa naik gunung, baru beberapa meter naik tangga bukit saja nafas saya sudah terengah-engah rasanya mau putus. 
Mungkin saking semangatnya takut ketinggalan momen sunrise Sikunir, saya lupa kalau naik gunung harus bisa mengatur nafas. Tak terasa keringat dingin pun keluar, dan jantung saya berdegup kencang. Saya pun memutuskan berhenti sesaat. Baru saya sadari ternyata saya kurang olahraga,  hmm jadi tahu efek kurang berolah raga seperti itu. Setelah sejenak istirahat saya pun kembali meneruskan langkah kaki naik ke puncak.

Akhirnya saya sampai juga di pos 1, dan langit mulai kelihatan memerah tampak dari ufuk timur. Terasa indah sekali pemandangan dari puncak bukit. Sedikit berfoto, saya pun kembali naik lagi ke puncak paling atas untuk mencari sudut pemandangan yang lebih bagus. 
Di pos 3 paling puncak sudah ramai sekali dipadati pengunjung lain yang ingin mengabadikan moment sunrise. Dan memang sekitar jam 5.30, saat matahari mulai bersinar kelihatan sangat indah sekali. Seolah rasa capek ketika naik bukit tadi terbayar sudah oleh indahnya pemandangan matahari yang terbit. Mungkin banyak sekali cepretan foto yang kami ambil untuk mengabadikannya. Sayang, Desi tidak ikut, jadi agak terasa kurang komplit foto-foto kami di Puncak Sikunir. Kalau ikut pasti bakal lebih seru lagi.
Sekitar jam 06.30 setelah puas menikmati indahnya golden sunrise di Puncak Sikunir kami pun memutuskan turun untuk kembali pulang. Sayangnya sedikit insiden kecil dialami Mas Ari. Beliau terjatuh agak keras saat turun tangga bukit tinggi dan menyebabkan kakinya sedikit terkilir. Meski agak pincang, Mas Ari masih bisa tetap berjalan kebawah. Memang harus extra hati-hati menuruni tangga bukit tersebut karena memang licin sekali. 
Disepanjang perjalanan beberapa pedagang menjajakan jajanan khas berupa kentang goreng dan makanan lain. Kami sempat membeli beberapa bungkus untuk menemani perjalanan kami selanjutnya. Jam 7.30 kami pun bergegas kembali ke rumah sewa untuk sekalian berkemas dan melanjutkan perjalanan ke objek berikutnya.


Dari kiri ke kanan : Mas Petrus, saya, Mbak Chi, Juki, Mas Rosadi dan Mas Ari
harusnya paling depan Desi hehee

Puncak Sikunir

Tangga Bukit Sikunir


Kentang Goreng Khas Dieng

Danau di kaki Bukit Sikunir

Gorengan hangat dipagi hari

Foto di dekat area parkir Sikunir

Sampai rumah sewa setelah mandi dan sarapan, sembari berkemas kami sempatkan berfoto-foto diladang sayur yang terhampar luas didepan rumah. Beberapa jenis sayuran seperti kentang, seledri, kobis tampak segar dipanen oleh beberapa petani. 
Oh iya kami baru tahu ternyata makanan khas Dieng yaitu Carica ternyata berasal dari sejenis pepaya yang memang biasa tumbuh di daratan tinggi. Meski pohonnya mirip dengan pohon pepaya tetapi bentuk buahnya kecil-kecil tidak seperti pepaya biasanya. Setelah puas mengobati rasa penasaran kami di ladang sayuran kami pun pamit, pemilik rumah sewa berbaik hati memberi kami sebungkus kentang untuk dibawa pulang. 
Hamparan kebun sayur di depan rumah 
Setelah beberapa menit kami meninggalkan rumah penginapan, kami pun bergegas menuju objek wisata Candi Arjuna Dieng yang tidak jauh dari situ. Sebenarnya banyak objek wisata yang ingin kami singgahi seperti kawah Kidang dan Theather Dieng, namun kami putuskan hanya ke Candi Arjuna Dieng saja mengingat keterbatasan waktu kami disana. Karena esok harinya teman-teman saya harus sudah balik ke Jakarta untuk bekerja.


Kabut masih menggantung di kaki bukit

Desi dan panen kentang

Buah Carica



Desi dan Si Wortel

Desi lagi ,,, cepek dehhh
Suhu di jam 8.23 yang menunjukan 21 derajat selsius, malam akan lebih dingin lagi



Candi Arjuna 

Candi Arjuna Dieng merupakan salah satu candi peninggalan budaya Hindu di abad 809 Masehi. Saya sendiri kurang banyak menemui informasi mengenai candi tersebut. Namun di papan informasi, Candi Dieng ini dibangun karena pengaruh budaya Hindu yang datang dari India yang kemudian bercampur dengan kebudayaan Jawa. 
Daratan tinggi Dieng sebelumnya terbentuk dari kawah gunung berapi yang kemudian menjadi danau dan di keringkan untuk dimanfaat sebagai kegiatan agama Hindu. 
Tambahan sumber lain dari situs Perpustakaan Nasional Indonesia melalui http://candi.perpusnas.go.id/temples/deskripsi-jawa_tengah-candi_dieng, candi-candi ini pertama kali ditemukan pada tahun 1814 oleh seorang tentara Inggris yang berpariwisata ke Daerah Dieng melihat sekumpulan candi yang terendam di genangan air. Kemudian tahun-tahun berikutnya oleh pemerintah Hindia Belanda dilakukan pengeringan dan pembersihan yang dilanjukan dengan pencatatan serta pengambilan gambar oleh Van Kinsbergen.
Luas seluruh kompleks Candi Dieng mencapai 1,8 x 0,8 kilometer persegi yang terbagi menjadi 3 kelompok dan 1 candi yang berdiri sendiri. Candi-candi tersebut dinamai berdasarkan nama tokoh dalam cerita wayang yang diadopsi dari Kitab Mahabarta antara lain Arjuna, Gatotkaca, Dwarawati dan Candi Bima.
Kami sendiri hanya menyambangi Candi Arjuna, yang merupakan salah satu komplek yang paling utuh. Meski beberapa candi masih terlihat sedang dipugar namun kompleks candi terlihat asri dan bersih. Beberapa wisatawan terlihat juga menikmati pemandangan kawasan candi tersebut.
Yang menarik yang saya temui saat itu adalah serombongan wisatawan mancanegara yang sengaja melukis candi di kawasan Candi Arjuna. Mereka kelihatan sangat antusias melukis, terlihat dari raut wajah mereka yang sangat serius berkonsentrasi fokus melihat candi sembari memainkan alat lukis mereka. Hmmm mungkin perlu dicontoh juga bentuk perhatian tersebut pada generasi muda kita. Agar tempat-tempat bersejarah di Indonesia bisa tetap lestari kedepannya.
Setelah beberapa saat kami menikmati beberapa candi di sana, kami pun memutuskan untuk menuju mobil. Namun sebelumnya kami membeli sekedar oleh-oleh berupa manisan Carica yang banyak dijual di luar komples candi tersebut. Dan sekitar jam 10.30 kami pun bergegas pulang meninggalkan Dieng menuju Yogyakarta. Liburan ke Dieng yang cukup seru dan menyenangkan, semoga bisa diulang lagi suatu saat di tempat wisata lain bersama teman-teman. Terima kasih ya sis and bro...

Kompleks Candi Arjuna

Berpose di depan candi

Selfi di Candi
Komplek Candi Arjuna



Komentar

Postingan Populer