Dieng Wonosobo Jawa Tengah
Teman-teman saya kali ini
berasal dari Jakarta. Ada Desi, Mbak Chi, Petrus, Mas Ari, Juki dan Mas Rosadi.
Mereka memang sudah merencanakan jauh-jauh hari sebelumnya untuk berwisata ke
Dieng. Kebetulan saudara Mbak Chi berbaik hati meminjamkan mobil untuk bisa berwisata kesana.
Jam 09.00 perjalanan saya awali
dari rumah saudara teman saya di seputaran Kricak, Jalan Magelang Yogyakarta. Saya
sendiri belum pernah pergi ke Daratan Tinggi Dieng. Jadi kami hanya menggunakan
Google Maps untuk bisa sampai kesana. Mas Petrus yang mengemudikan mobil sebenarnya
sudah pernah ke Dieng hanya saja malam hari jadi tidak ingat jalan sampai ke
Dieng. Meski begitu perjalanan kami cukup lancar.
Peta di Google Maps cukup baik untuk
diandalkan. Dari Jalan Magelang Yogyakarta kami meluncur menuju Muntilan, Jawa
Tengah kearah jalan menuju Candi Borobudur. Meski beberapa belum kenal lama, tapi
teman-teman saya ini cukup kocak dan humoris, saya cukup senang dan terhibur bisa
tertawa sepanjang perjalanan. Desi
sendiri yang suka mabuk darat kalau naik mobil, saat itu tidak menunjukkan
gejala mabuk. Kami juga sempatkan berhenti di Candi Mendut meski hanya berfoto
di luar pagar candi.
Candi Mendut |
Pukul 12.00 kami sampai di Kota
Wonosobo. Sebelumnya kami sudah memutuskan untuk makan siang di Wonosobo dengan
makanan khas Mie Ongkloknya. Sempat muter-muter di Alun-alun Wonosobo tapi
tidak menemukan warung mie Ongklok, akhirnya ketemu di dekat sekolah MTS di
jalan menuju arah Dieng, namanya Mie Ongklok& Sate Bu Umi tepatnya
beralamat Jl. Masjid no.11 Kauman Utara, Wonosobo, Jawa Tengah.
Saya sendiri
belum pernah makan mie ongklok. Jadi itu pertama kali lidah saya bersentuhan
dengan Mie Ongklok. Mirip dengan Mi Ayam tetapi kuahnya memakai kuah kacang.
Cukup lezat rasanya dibarengi dengan beberapa tusuk sate ayam dan air jeruk
hangat. Setelah kenyang melahap Mie Ongklok, perjalanan kami pun berlanjut
menuju tujuan semula.
Jalan-jalan kearah Dieng cukup lenggang, sesekali ada
beberapa antrian karena perbaikan jalan. Tetapi masih bisa dikatakan lalulintas
cukup lancar. Setelah sekitar 1 jam kami
pun sampai di gerbang masuk tempat wisata Dieng. Tiket masuknya sekitar Rp
70,000,- satu mobil atau sekitar Rp 10,000,- perorang itu sudah termasuk tiket
nonton film di Teather Dieng (meski kami tidak sempat kesana).
Mie Ongklok Wonosobo |
Jalan menuju wisata Dieng cukup
menanjak, kanan-kiri jalan sejauh mata memandang terhampar kebun-kebun sayur yang
beraneka ragam, seperti kentang, kubis, sawi, seledri dan lain-lain. Cukup
indah untuk melepas penatnya setelah bosan dengan urusan pekerjaan. Namun
demikian, hp beberapa teman saya ada yang tak henti-hentinya berbunyi. Maklum
mereka ada yang membawahi beberapa anak buah di tempat mereka bekerja, jadi urusan kerja masih tetap sesekali terhubung meski lewat sambungan jarak jauh.
Setelah setengah jam berjalan
dari gerbang pintu masuk, kami berhenti sebentar di gapura masuk Dieng, apalagi
kalau bukan ceprat-cepret foto bareng hehehe… Memang jaman sekarang sepertinya
mengambil foto baik selfie atau bareng-bareng adalah sebuah kewajiban setiap
orang yang sedang piknik, tak terkecuali saya sendiri hehe..
Beberapa pengunjung wisata lain juga tampak
meluangkan waktu untuk berhenti sekedar berfoto ria. Tak lama kami pun lanjut menuju tempat wisata
Dieng yang pertama kami sambangi adalah Danau Telaga Warna.
Telaga Warna
Telaga Warna
Memasuki Danau Telaga Warna Dieng
cukup mudah, karena kami cukup parkir di tempat yang sudah disediakan. Karena
hari itu bertepatan dengan hari Senin, wisatawan yang datang kesana tidak
banyak. Saya hanya melihat dua rombongan bis yang datang untuk berpariwisata.
Mungkin suasana akan lain ketika hari Minggu atau liburan.
Untuk masuk ke Telaga Warna kami masih
ditarik tiket lagi kalau tidak salah seharga Rp 5,000,- per orang. Saat kami
masuk aroma belerang cukup pekat menusuk hidung. Memang Danau Telaga Warna ini
mengandung belerang yang keluar dari saluran perut bumi. Namun rindangnya pohon-pohon disekitar telaga
yang cukup asri membuat suasana terasa sejuk dan cukup dingin.
Menurut
informasi yang langsung saya baca dari Wikipedia, nama Telaga Warna
sendiri diberikan karena keunikan fenomena alam yang terjadi di tempat ini,
yaitu warna air dari telaga tersebut yang sering berubah-ubah. Terkadang telaga
ini berwarna hijau dan kuning atau berwarna warni seperti pelangi.
Fenomena ini
terjadi karena air telaga mengandung sulfur yang cukup tinggi, sehingga saat
sinar Matahari mengenainya, maka warna air telaga nampak berwarna warni. Namun
sayang kami hanya melihat warna telaga yang hijau waktu itu, mungkin momen kami
kurang tepat karena hari mulai beranjak sore ketika kami menyambangi tempat
tersebut.
Telaga Warna sendiri berada di ketinggian 2000 meter di
atas permukaan laut, dan dikelilingi oleh bukit-bukit tinggi yang menambah
pesona keindahan alam sekitar telaga warna. Keindahan telaga warna akan lebih
terasa jika pengunjung naik ke salah satu bukit yang mengelilingi telaga ini.
Namun kami pun tidak sempat naik ke bukit yang dimaksut karena terbatasnya
waktu kami. Kami hanya mengunjungi beberapa gua yang ada di sekitar Telaga Warna
Dieng. Seperti Gua Semar Pertapaan Mandalasari Begawan Sampurna Jati. Di depan
gua ini terdapat arca wanita dengan membawa kendi. Ada juga Gua Sumur Eyang
Kumalasari, dan Gua Jaran Resi Kendaliseto. Selain itu, ada pula Batu Tulis
Eyang Purbo Waseso. Konon gua-gua di sekitar telaga warna ini juga sering
dijadikan sebagai tempat meditasi.
Jam pun sudah menunjukan pukul 17.00
kami pun memutuskan mencari penginapan, karena kami berniat bermalam untuk
melihat sunrise di Bukit Sikunir pada pagi harinya. Desi yang sudah beberapa
hari lalu hunting penginapan via google di internet akhirnya mendapatkan sebuah
rumah penginapan milik warga yang bisa di sewa semalam.
Sebelumnya kami ingin
menyewa tenda saja, tetapi dengan pengalaman yang minim dalam berkemah kami
memutuskan untuk menyewa rumah. Karena di daerah Dieng suhu bisa sangat dingin
sekali saat malam. Takutnya pagi-pagi kami jadi daging beku hehehe
Setelah
tawar menawar dengan pemilik rumah akhirnya kami dapat harga yang lumayan
miring walaupun sebenarnya mungkin itu harga standar sekitar Rp 400,000,- untuk
kami bertujuh. Tempatnya juga cukup jauh dari puncak Sikunir tapi lumayan untuk
bisa kami bermalam.
Sore itu saya nekat tetap mandi, merasakan dinginnya seperti
air kulkas yang cukup membuat tubuh menggigil kedinginan. Tapi menurut bapak
yang punya rumah, jika ingin beradaptasi dengan dinginnya daerah Dieng dianjurkan
mandi dengan air dingin. Tapi menurut saya tetap sama saja, tetap saja dingin.
Hehehe
Malam pun beranjak larut, kami
tidak sempat untuk keluar makan karena mungkin sudah capek setelah perjalanan
tadi. Mbak Chi dan Desi memutuskan membeli mie rebus dan telur untuk kami buat
makan malam. Cukup untuk mengganjal perut sampai pagi.
Setelah ngobrol-ngobrol dan bercanda sampai
sekitar jam 23.00 kami pun tidur. Mbak Chi dan Desi, tidur dikamar sendiri,
sedang Petrus, Mas Rosadi, Juki dan Mas Ari memilih tidur di ruang tamu dan dan
depan TV. Saya sendiri tidur dikamar lain sendirian. Untung saya membawa mantel
dari rumah yang jenis baju jadi selain memakai celana panjang, kaos kaki dan
sapu tangan , saya double dengan mantel. Itu saja masih memakai selimut tebal
double dua lagi. Memang saat malam, yang belum terbiasa dengan daratan tinggi
akan terasa dingin menusuk tulang. Saya pun terlelap sampai pagi, meski tidur
kurang begitu nyenyak.
Setelah alarm HP membangunkan
saya sekitar jam 03.30 pagi, saya pun cuci muka dan gosok gigi. Beberapa teman
juga sudah bangun. Karena Desi punya penyakit asma terpaksa kita meninggalkan
sendirian di rumah sewa. Takutnya asmanya kambuh ketika naik puncak gunung. Dan
jam 04.00 pun kami gas mobil kami menuju
puncak Si Kunir tempat melihat matahari terbit. Dijalan banyak juga pengunjung
yang antusias berbondong-bondong menuju kesana. Jalan menuju puncak Sikunir
cukup menanjak dan curam, dengan aspal yang sudah banyak terkelupas sana-sini,
sehingga memerlukan konsentrasi yang cukup hati-hati.
Puncak Sikunir
Puncak Sikunir
Sekitar pukul 04.35 kami pun
sampai di lokasi parkir objek wisata Puncak Sikunir. Ternyata pagi itu sudah
cukup banyak pengunjung yang memarkirkan kendaraan untuk naik ke Puncak
Sikunir. Beberapa deret parkir sudah terisi dengan beberapa mobil dan bus dari
pengunjung lain. Ada juga beberapa pengunjung yang menginap menggunakan tenda
di lokasi tersebut.
Kami pun segera beranjak mengikuti jalur menuju ke puncak bukit Sikunir yang berjarak sekitar 500 meter dari tempat kami parkir. Jalan yang
menanjak dan licin membuat kami harus extra hati-hati berjalan melangkah naik
ke bukit Sikunir.
Pagi itu cukup ramai sehingga kami agak sedikit berjalan
mengantri dibelakang pengunjung lain yang ikut naik ke puncak. Karena saya
mungkin tidak hobby dan terbiasa naik gunung, baru beberapa meter naik tangga
bukit saja nafas saya sudah terengah-engah rasanya mau putus.
Mungkin saking
semangatnya takut ketinggalan momen sunrise Sikunir, saya lupa kalau naik
gunung harus bisa mengatur nafas. Tak terasa keringat dingin pun keluar, dan
jantung saya berdegup kencang. Saya pun memutuskan berhenti sesaat. Baru saya
sadari ternyata saya kurang olahraga,
hmm jadi tahu efek kurang berolah raga seperti itu. Setelah sejenak
istirahat saya pun kembali meneruskan langkah kaki naik ke puncak.
Akhirnya saya sampai juga di pos
1, dan langit mulai kelihatan memerah tampak dari ufuk timur. Terasa indah
sekali pemandangan dari puncak bukit. Sedikit berfoto, saya pun kembali naik
lagi ke puncak paling atas untuk mencari sudut pemandangan yang lebih bagus.
Di
pos 3 paling puncak sudah ramai sekali dipadati pengunjung lain yang ingin
mengabadikan moment sunrise. Dan memang sekitar jam 5.30, saat matahari mulai
bersinar kelihatan sangat indah sekali. Seolah rasa capek ketika naik bukit tadi
terbayar sudah oleh indahnya pemandangan matahari yang terbit. Mungkin banyak
sekali cepretan foto yang kami ambil untuk mengabadikannya. Sayang, Desi tidak
ikut, jadi agak terasa kurang komplit foto-foto kami di Puncak Sikunir. Kalau ikut pasti bakal lebih seru lagi.
Sekitar jam 06.30 setelah puas menikmati indahnya golden sunrise di Puncak Sikunir kami pun memutuskan turun untuk kembali pulang. Sayangnya sedikit insiden kecil dialami Mas Ari. Beliau terjatuh agak keras saat turun tangga bukit tinggi dan menyebabkan kakinya sedikit terkilir. Meski agak pincang, Mas Ari masih bisa tetap berjalan kebawah. Memang harus extra hati-hati menuruni tangga bukit tersebut karena memang licin sekali.
Disepanjang perjalanan beberapa pedagang menjajakan jajanan khas berupa kentang goreng dan makanan lain. Kami sempat membeli beberapa bungkus untuk menemani perjalanan kami selanjutnya. Jam 7.30 kami pun bergegas kembali ke rumah sewa untuk sekalian berkemas dan melanjutkan perjalanan ke objek berikutnya.
Dari kiri ke kanan : Mas Petrus, saya, Mbak Chi, Juki, Mas Rosadi dan Mas Ari harusnya paling depan Desi hehee |
Puncak Sikunir |
Tangga Bukit Sikunir |
Kentang Goreng Khas Dieng |
Danau di kaki Bukit Sikunir |
Gorengan hangat dipagi hari |
Foto di dekat area parkir Sikunir |
Oh iya kami baru tahu ternyata makanan khas Dieng yaitu Carica ternyata berasal dari sejenis pepaya yang memang biasa tumbuh di daratan tinggi. Meski pohonnya mirip dengan pohon pepaya tetapi bentuk buahnya kecil-kecil tidak seperti pepaya biasanya. Setelah puas mengobati rasa penasaran kami di ladang sayuran kami pun pamit, pemilik rumah sewa berbaik hati memberi kami sebungkus kentang untuk dibawa pulang.
Hamparan kebun sayur di depan rumah |
Kabut masih menggantung di kaki bukit |
Desi dan panen kentang |
Buah Carica |
![]() |
Desi dan Si Wortel |
![]() |
Desi lagi ,,, cepek dehhh |
Suhu di jam 8.23 yang menunjukan 21 derajat selsius, malam akan lebih dingin lagi |
Candi Arjuna
Candi Arjuna Dieng merupakan salah satu candi peninggalan budaya Hindu di abad 809 Masehi. Saya sendiri kurang banyak menemui informasi mengenai candi tersebut. Namun di papan informasi, Candi Dieng ini dibangun karena pengaruh budaya Hindu yang datang dari India yang kemudian bercampur dengan kebudayaan Jawa.
Daratan tinggi Dieng sebelumnya terbentuk dari kawah gunung berapi yang kemudian menjadi danau dan di keringkan untuk dimanfaat sebagai kegiatan agama Hindu.
Tambahan sumber lain dari situs Perpustakaan Nasional Indonesia melalui http://candi.perpusnas.go.id/temples/deskripsi-jawa_tengah-candi_dieng, candi-candi ini pertama kali ditemukan pada tahun 1814 oleh seorang tentara Inggris yang berpariwisata ke Daerah Dieng melihat sekumpulan candi yang terendam di genangan air. Kemudian tahun-tahun berikutnya oleh pemerintah Hindia Belanda dilakukan pengeringan dan pembersihan yang dilanjukan dengan pencatatan serta pengambilan gambar oleh Van Kinsbergen.
Luas seluruh kompleks Candi Dieng mencapai 1,8 x 0,8 kilometer persegi yang terbagi menjadi 3 kelompok dan 1 candi yang berdiri sendiri. Candi-candi tersebut dinamai berdasarkan nama tokoh dalam cerita wayang yang diadopsi dari Kitab Mahabarta antara lain Arjuna, Gatotkaca, Dwarawati dan Candi Bima.
Kami sendiri hanya menyambangi Candi Arjuna, yang merupakan salah satu komplek yang paling utuh. Meski beberapa candi masih terlihat sedang dipugar namun kompleks candi terlihat asri dan bersih. Beberapa wisatawan terlihat juga menikmati pemandangan kawasan candi tersebut.
Kami sendiri hanya menyambangi Candi Arjuna, yang merupakan salah satu komplek yang paling utuh. Meski beberapa candi masih terlihat sedang dipugar namun kompleks candi terlihat asri dan bersih. Beberapa wisatawan terlihat juga menikmati pemandangan kawasan candi tersebut.
Yang menarik yang saya temui saat itu adalah serombongan wisatawan mancanegara yang sengaja melukis candi di kawasan Candi Arjuna. Mereka kelihatan sangat antusias melukis, terlihat dari raut wajah mereka yang sangat serius berkonsentrasi fokus melihat candi sembari memainkan alat lukis mereka. Hmmm mungkin perlu dicontoh juga bentuk perhatian tersebut pada generasi muda kita. Agar tempat-tempat bersejarah di Indonesia bisa tetap lestari kedepannya.
Setelah beberapa saat kami menikmati beberapa candi di sana, kami pun memutuskan untuk menuju mobil. Namun sebelumnya kami membeli sekedar oleh-oleh berupa manisan Carica yang banyak dijual di luar komples candi tersebut. Dan sekitar jam 10.30 kami pun bergegas pulang meninggalkan Dieng menuju Yogyakarta. Liburan ke Dieng yang cukup seru dan menyenangkan, semoga bisa diulang lagi suatu saat di tempat wisata lain bersama teman-teman. Terima kasih ya sis and bro...
Setelah beberapa saat kami menikmati beberapa candi di sana, kami pun memutuskan untuk menuju mobil. Namun sebelumnya kami membeli sekedar oleh-oleh berupa manisan Carica yang banyak dijual di luar komples candi tersebut. Dan sekitar jam 10.30 kami pun bergegas pulang meninggalkan Dieng menuju Yogyakarta. Liburan ke Dieng yang cukup seru dan menyenangkan, semoga bisa diulang lagi suatu saat di tempat wisata lain bersama teman-teman. Terima kasih ya sis and bro...
![]() |
Kompleks Candi Arjuna |
![]() |
Berpose di depan candi |
![]() |
Selfi di Candi |
Komplek Candi Arjuna |
Komentar
Posting Komentar